Minggu, 13 Februari 2011

The Broken Souls (Written to toughen)

Baru sebulan belakangan ini saya memiliki akun twitter, salah satu yang saya follow adalah akun twitter milik Ibu Angelina Sondakh, seseorang yang menurut saya sangat tangguh. Saya selalu menyukai beliau karena sangat mencerminkan sosok wanita Indonesia yang cantik, lembut, santun namun penuh power. Secara saya juga nge-fans dengan sosok Bapak Adjie Massaid, yang saya sebut sebagai seorang nasionalis sejati atas sumbangsihnya bagi rakyat dan persepakbolaan Indonesia. Saya kagum sekali dengan pasangan ini, yang begitu harmonis dan almost perfect dari sudut pandang saya sebagai fans. Berita tentang berpulangnya Bapak Adjie kehadirat Allah SWT, was really shocking me and of course this whole country. Saya sungguh terharu tiap kali membaca twit Ibu Angie. It must be very hard and sad when the rhyme left the song, all alone. Saya sangat mengerti perasaannya, karena saya pun pernah mengalaminya.

Kehilangan pasti pernah dirasakan oleh setiap orang. Apakah itu sesuatu atau seseorang. Jika kehilangan sesuatu saja bisa begitu menyedihkan (entah karena menyimpan banyak kenangan atau harganya begitu mahal) apalagi seseorang yang jelas-jelas sangat berharga melebihi apapun di dunia, yang bahkan jika diminta untuk menukar nyawa kita sendiri untuk menyelamatkannya, kita akan dengan rela melakukannya. Namun semua yang hidup pasti akan kembali kepada-Nya, itu janji seisi jagad kepada Allah SWT. Kita ga bisa ingkar atas janji yang satu itu. Maka ketika tiba waktunya ajal menjemput, yang dapat kita lakukan hanyalah ikhlas.

Ikhlas tak semudah mengatakannya. Untuk itu dibutuhkan sebuah proses yang didalamnya terdapat rasa sakit yang teramat sangat. Kita butuh waktu untuk benar-benar merelakan dan melepaskan. Saya ingat ketika Bapak (My Last One Standing Hero) meninggalkan saya, Mamak dan Ade, just three of us, and we're all females. Saya merasa hampir gila, saya pun ingin mati karena ga sanggup membayangkan kehidupan kami ke depannya tanpa Bapak. I felt broken. Really broken, even i felt it in not only in my heart or my body, but also in my soul.

Banyak sekali orang berada di sisi kami untuk memberi dukungan dan motivasi dan tentu saja hal itu sangat melegakan dan menguatkan. Tetapi ketika beberapa diantaranya berkata bahwa kami harus ikhlas, harus sabar dan harus ini, harus itu. Perasaan saya yang saat itu masih labil sungguh ga dapat menerimanya dengan baik. Menurut saya gampang buat mereka berkata demikian karena mereka ga di posisi saya, bukan mereka yang ditinggalkan. Saat itu saya hanya butuh tatapan tulus dari mata mereka, itu saja cukup, saya ga perlu kata-kata semacam itu yang makin membuat saya larut dalam kesedihan. Dan yang paling penting, kami butuh waktu untuk menenangkan diri dan menata hati. Kami benar-benar hancur berserakan, kami perlu proses untuk mengumpulkan kepingan-kepingan itu dan membuatnya kembali utuh.

Dalam proses itu, lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah solusi terbaik. Kehadiran keluarga dan teman-teman yang selalu menghibur dengan ketulusan mereka, juga menjadikan proses itu lebih mudah dilalui. Dan sekarang, beratus-ratus hari setelahnya, akhirnya kami benar-benar bisa ikhlas, dalam arti sesungguhnya, yaitu mengembalikan apa yang memang dari awal perjalanan hidup ini adalah milik-Nya.

So, just give Ibu Angie some spaces and times to treat this sadness. Semoga Ibu Angie dan anak-anaknya selalu diberkahi Allah SWT dengan kedamaian hidup. Karena satu hal yang harus selalu kita yakini adalah Allah SWT ga akan pernah memberi cobaan diluar kemampuan umat-Nya. Dan jika kita yang mesti melaluinya, mungkin saja karena kita istimewa bagi-Nya.

Ga ada keikhlasan tanpa rasa sakit. Mungkin justru pada rasa sakit itulah letak nikmatnya sebuah keikhlasan. And maybe, only the broken souls can feel a true sincerity.

Tidak ada komentar: